KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul ikhtishash, tahdzir dan ighra
dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas Ibu Wakhidati Nurrohmah Putri
pada mata kuliah Nahwu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan pengetahuan
nahwu bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Harapan kami dalam
pembuatan makalah ini, yaitu agar makalah ini dapat memberikan wawasan baru
kepada pembaca.Kami selaku pembuat makalah ingin mengucapkan terimakasih kepada
dosen kami yang telah memberikan tugas makalah ini, serta kami juga berterimakasih
kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat kami harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini. Serta tak
lupa kami haturkan maaf bila terdapat penulisan ataupun kata-kata yang kurang
berkenan.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 2
A.
Pengertian ikhtishas...................................................................................... 2
B.
Persamaan ikhtishah..................................................................................... 2
C.
Pengertian tahdzir......................................................................................... 3
D.
Ketentuan amil yang menashabkan tahdzir.................................................. 3
E.
Lafadz-tahdzir yang syaad (menyimpang)................................................... 5
F.
Pengertian ighra............................................................................................ 5
G.
Ketentuan ighra............................................................................................ 6
H.
Persamaan dan perbedaan tahdzir dengan ighra.......................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................ 8
A.
Kesimpulan.............................................................................................................. 8
B.
Saran........................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan ini merupakan bagian dari Bab ilmu nahwu
yang jarang dibahas dalam kajian-kajian ilmu nahwu. Akan tetapi dikalangan arab
Uslub ini sering digunakan dalam bahasa percakapan. Dan tidak jarang juga
ditemukan dalam contoh-contoh dalam al-quran dah hadis. Oleh karena itu susunan
atau uslubnya yang ghorib tersebut.
Sehingga
dirasa penting bagi penulis untuk dikaji lebih mendalam agar dapat diketahui
asal dari susunan dari uslub tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan ikhtishas?
2.
Sebut dan jelasan persamaan ikhtisash?
3.
Apakah yang dimaksud dengan tahzir?
4.
Sebutkan macam-macam ketentuan amil tahdzir?
5.
Bagaimana ketentuan tahdzir yang
syaad(menyimpang)?
6.
Apakah yang dimaksud dengan ighra?
7.
Bagaimanakah ketentuan ighra?
8.
Sebutkan persamaan dan perbedaan antara
tahdzir dengan ighra?
C.
Tujuan
pembahasan.
Untuk membahas
dari rumusan masalah diatas agar bisa menjadikan para pembaca bisa memahami
dari makalah yang kami tulis ini..
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhtishash
الاختصاص كنداء دونا يا ¤
كاءيّهال الفتى بإثرارجونيا
”Ikhtishash adalah nida yang tidak memakai ya,
contohnya ءيّهال الفتى ( hai pemuda sejati ) hal ini di ungkapkan sesudah lafadz
ارجونيا ( harapkanlahaku )”.[1]
Ikhthisash adalah
meringkas hukum dari isim dhohir yang jatuh sesudahnya lafaz yang menjadikan
tarkib ikhtisash.[2]
B. Persamaan ikhtishas
1.
Persamaan dengan nida’.
Ikhtisash mirip dengan nida
dari segi lafaznya, hanya berbeda dengan nida dalam tiga hal:
Pertama, ikhtisash dalam pemakaiannya
tidak menggunakan huruf nida.
Kedua, harus didahului sesuatu.
Ketiga, hendaknya selalu dibarengi
dengan alif lam.
Contoh: ارجونى ايهاالفتى
Hukum raja’(berulang) dikhususkan
dalam lafazالفتى. Lafazالفتى tadi
menjadi nashab karena dinasabkan oleh lafaz
اخصّyang
wajib hilang.
2.
ayyin dengan alif lam
وقديرى ذادون اىّ تلوال ¤
كمثل نحن العرب اسخى من يذل
“ Terkadang ikhtishosh
ini diungkapkan sesudah al tanpa memakai ayyin. Seperti Nahnul Urbaaskhaa Man
Badzal ( kami khususnya bangsa arab adalah orang yang paling dermawan dalam
memberi”.[3]
Contohnya adalah: ونحن
العرب اسخى النّاس “kami khususnya orang arab adalah
orang-orang yang paling dermawan”.
Contoh
di atas dinashabkan oleh fiil yang disembunyikan, bentuk lengkapnya adalah: اخصّ
العرب “khususnya orang arab”.
Maksudnya juga ada yang
tidak berupa lafadz ayyun tetapi berupa isim maqrun(bertemu) dengan alif lam.
C.
Pengertian Tahdzir
ايّاك والشّرّونحوه نصب ¤
محذّربمااستتاره وجب
“ايّاك والشّر
( hati-hatilah kamu
terhadap kejahatan ) dan yang sejenisnya dinashabkan oleh muhadzir yang harus
disembunyikan”.[4]
Tahdzir adalah memberi
peringatan kepada lawan bicara dari perkara yang tidak disenangi supaya
dijauhi.[5]
Tahzir adalah ungkapan
untuk mengingatkan mukhatab dari suatu hal yang harusndiwaspadai.[6]
D. Ketentuan
amil yang menashabkan tahdzir
1.
Harus disembunyikan.
Apabila ungkapan ini
memakai iyyaaka dan saudara-saudaranya, yaitu iyyaaka, iyyaaki, iyyaakum dan
iyyakunna, maka amil nashib-Nya harus disembunyikan tanpa memandang apakah ada
huruf athaf atau tidak. Untuk contoh Tahdzir yang memakai huruf athaf adalah:
اياك والشرّ “hati-hatilah kamu terhadap kejahatan”.
Lafadz iyyaaka
dinashabkan oleh fiil yang harus disembunyikan; bentuk lengkapnya adalah: اياك احذّر “kepadamu
kuperingatkan”.
Untuk contoh yang tidak
memakai huruf athof adalah:
ايا ك ان تفعل كذا “awas
kamu janganlah mengerjakan hal ini”.
Bentuk lengkapnya adalah:
ايا ك من ان تفعل كذا “hati-hatilah kamu jangan mengerjakan hal
ini”.
ودون عطف ذالايّاانسب
وما ¤ سواه سترفعله لن يلزما
“Bila tanpa athof maka nisbatkanlah hal ini kepada iyya;
adapun selain itu fiil (amil)nya tidak wajib disembunyikan”.[7]
الاّمع العطف اوالتّكرار ¤
كاالضّيغم الضّيغم ياذاالسّارى
“ Kecuali beserta athaf atau
tikrar (pengulangan) seperti adh-dhaiyghama adh-dhaiyghama yaa dzassari ( awas
harimau, awas harimau, hai orang yang berjalan malam hari )”.[8]
Apabila ungkapan Tahdzir
tidak memakai lafadz iyyaaka dan saudara-saudaranya, hal inilah yang dimaksud
oleh perkataan “adapun selainnya”, maka amil yang menasabkan tidak wajib
disembunyikan, kecuali apabila dibarengi dengan huruf athaf. Seperti contoh:
مازرأسك والسّيف “ hai Mazi awas kepalamu dan awas pedang
itu”.
Bentuk lengkapnya adalah:
يامازن ق راسك واحذرالسّيف “hai mazi awas kepalamu dan hati-hati
dengan pedang itu”.
Atau beserta
pengulangannya seperti:
الضّيغم الضّيغم“awas macan, awas macam”.
2. Tidak harus disembunyikan.
Apabila
tidak bersama dengan athof dan tidak pula diulangi, maka amil yang menashabkan
boleh disembunyikan dan boleh ditampakkan, contoh: الاسد “awas harimau”. Bentuk
lengkapnya adalah:
احذّر الاسد “awas harimau”.
Jika
suka, boleh menampakkanya dan juga boleh menyembunyikannya (yakni
menyembunyikan ‘amil yang menashabkankan).
E. Lafadz tahdzir yang syaad (menyimpang)
وشذّايّاى وايّاه اشذّ ¤ وعن سبيل القصدمن قاس انتبذ
“dianggap syadz lafadz
iyyaaya dan lebih syadz lagi iyyaahu; dan jauhilah orang yang dengan sengaja
menjadikannya sebagai hal yang dapat dikiaskan”.[9]
Tahhdzir
digunakan hanya untuk mukhatab, karena itu dianggap syadz apabila ada tahdzir
digunakan untuk mutakallim, contoh:
ايّا ى وان يحذف احدكم الارنب “hendaklah aku
berhati-hati jangan sampai seseorang di antara kalian melempar kelinci (bila
hendak menyembelihnya)”.
Lebil
syadz lagi manakala tahdzir digunakan untuk ghaib seperti yang terdapat dalam
contoh:
اذا بلغ الرّجل السّتّين فايّا ه وايّاالشّوابّ “apabila seseorang telah mencapai umur 60
tahun, maka hati-hatilah dan awas umur yang sudah senja”
Akan
tetapi tiada suatupun dari contoh ini yang dapat dijadikan sebagai patokan.
F.
Pengertian ighra
وكمحذّربلاايّااجعلا ¤
مغرى به فى كلّ ما قد فصّلا
“ Jadikan ighra sama
dengan muhadzir tanpa memakai iyya yaitu dalam semua ketentuan yang telah
dirincikan”.[10]
Ighra’
adalah pemberian semangat kepada lawan bicara atas suatu perkara yang terpuji
untuk dilakukan, Perkara terpuji ini dinamakan “Mughra bih”.[11]
Igha
adalah perintah yang ditunjukkan kepada mukhatab agar menetapi hal yang
terpuji.[12]
G. Ketentuan
ighra
Ketentuan
ighra sama dengan apa yang ada di tahdzir yaitu apabila ada huruf athaf atau
pengulangan lafazd, maka amil yang menashabkan harus disembunyikan; apabila
tidak ada, maka tidak wajib disembunyikan.[13]
Dalam
ungkapan ighra tidak dipakai lafadz iyya.
Untuk
contoh yang menggambarkan tentang wajib menyembunyikan amilnya adalah seperti
perkataan:
اخاك اخاك“saudaramu, saudaramu!”
Contoh
yang yang lainnya adalah:
اخاك واالاحسان اليه“saudaramu, dan berbuat kebajikan terhadapnya”
Makna
yang dimaksud dari kedua contoh di atas adalah:
الزم أخاك “tetaplah (dampingilah)
saudaramu”
Untuk
contoh yang didalamnya tidak diwajibkan menyimpan amil nashib adalah seperti
perkataan:
اخاك “saudaramu”.
الزم اخاك “tetaplah saudaramu”.
H. Persamaan
dan perbedaan tahdzir dengan ighra
1.
Persamaan tahdzir dan ighra.
a.
Ditujukkan kepada mukhatab.
b.
Apabila ada athof atau pengulangan lafadz, maka amil
yang menashabkannya harus disembunyikan; apabila tidak ada maka tidak wajib.
2.
Perbedaan tahdzir dan igra.
a.
Tahdzir merupakan peringatan, sedangkan ighra
merupakan perintah.
b.
Tahdzir menggunakan lafadz iyya, sedangkan ighra
tidak menggunakan lafadz iyya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ikhtishash adalah nida
yang tidak memakai ya. Juga memiliki pengertian Ikhthisash adalah meringkas
hukum dari isim dhohir yang jatuh sesudahnya lafaz yang menjadikan tarkib
ikhtisash.
Tahdzir adalah memberi
peringatan kepada lawan bicara dari perkara yang tidak disenangi supaya
dijauhi.
Ighra’ adalah pemberian
semangat kepada lawan bicara atas suatu perkara yang terpuji untuk dilakukan,
Perkara terpuji ini dnamakan “Mughra bih”.
Persamaan
tahdzir dan ighra.
1.
Ditujukkan kepada mukhatab.
2.
Apabila ada athof atau pengulangan lafadz, maka amil
yang menashabkannya harus disembunyikan; apabila tidak ada tidak wajib.
Perbedaan
tahdzir dan igra.
1. Tahdzir merupakan peringatan, sedangkan ighra merupakan perintah.
2. Tahdzir
menggunakan lafadz iyya, sedangkan ighra tidak menggunakan lafadz iyya.
B. Saran
Kami penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas
masih terdapat banyak kesalahan, dan jauh Dari kesempurnaan. Kami penulis akan
memperbaiki makalah dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.
Kami menyarankan para pembaca tidak hanya berpedoman pada
makalah ini, tetapi juga memahami dari banyak sumber referensi yang terpecaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, bahaud din. 2018. Terjemahan
alfiyyah syarah ibnu Aqil. Bandung: Sinar baru Algesindo.
Musthofa, bisyri. 1962. Li alfiyyah ibnu
malik. Kudus: Menara kudus.
ni’mah, fuad. 2015. Terjemah mulakhos. Jakarta:
Abu Ahmad A-mutarjim.
[1]Bahaud din abdullah ibnu ‘aqil, terjemahan
alfiyyah (bandung: sinar baru algesindo, 2016), hlm. 713.
[2]Bisyri musthofa, lialfiyyah ibnu malik (kudus:
menara kudus, 1962), hlm. 309.
[3]Bahaud din abdullah ibnu ‘aqil, loc. cit.
[4] Ibid. hlm. 715.
[5]Fuad nikmah, terjemah mulakhos (Jakarta:
Abu Ahmad al murtarjim, 2015), hlm. 341.
[6]Bahaud din abdullah ibnu ‘aqil, loc. cit.
[7] Loc. cit.
[8] Loc. cit
[9] Ibid. hlm. 716.
[10] Ibid. hlm. 717.
[11] Fuad nikmah, op. cit.
hlm. 342.
[12] Bahaud din abdullah ibnu
‘aqil, loc. cit.
[13] Loc. cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar