Senin, 14 September 2020

Pembelajaran Multikultural dari Berbagai Pemikiran

 


 

Daftar Isi

 

Bab I Pendahuluan

 

A.   Latar Belakang Masalah.................................................................................2

B.   Rumusan Masalah...........................................................................................2

Bab II Pembahasan

A.   Konsep Pendidikan Multikultural dari Berbagai Pemikiran..................3

B.   Strategi Pengelolaan Pembelajaran Multikultural..................................5

C.   Peran Guru Pendidik dalam Menerapkan Pendidikan Multikultural.....7

D.   Nilai Demokratisasi Pendidikan dan Implementasinya di Sekolah, Masyarakat   dan Keluarga.........................................................................................11

 

Bab III Penutup

 

A.   Kesimpulan.....................................................................................................14

 

Daftar Pustaka

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang

 

Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Tentu saja untuk mendesain pendidikan multikultural secara praksis, itu tidak mudah. Tetapi paling tidak kita mencoba melakukan ijtihad untuk mendesain sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikulturalisme. Setidaknya ada dua hal bila kita akan mewujudkan pendidikan multikultural yang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan lain akan melahirkan fasisme, nativisme, dan chauvinisme.

Pada sentra-sentra kebudayaan, seperti kota-kota besar, di mana hidup berbagai macam etnis di dalamnya, pertemuan antar kebudayaan merupakan persoalan yang menarik. Dari hasil pertemuan ini timbul sebuah kreativitas baru yang pada akhirnya memperkaya kebudayaan. Kuncinya adalah kreativitas dan dinamik. Sistem kebudayaan yang demikian sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan yang akan terjadi di masa depan.

Dengan mempelajari pendidikan multikultural dari berbagai pandangan dan pemikiran dari berbagai tokoh, kita lebih dapat memahami konsep pendidikan multikultural untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial, dan kita juga dapat lebih memahami tentang strategi, peranan guru dan nilai demokrasi pendidikan dalam pendidikan multikultural untuk mengimplementasikanya di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat.

 

 

B.   Rumusan Masalah

 

1. Apa saja konsep pembelajaran multikultural dari berbagai pemikiran ? 

2. Bagaimana strategi pengelolaan pembelajaran multikultural ?

3. Bagaimana peran guru, pendidik dalam menerapkan pendidikan multikultural ?

4. Apa saja nilai demokratisasi pendidikan dan implementasinya di sekolah, masyarakat  dan keluarga ?

 

BAB II

PEMBAHASAN


A.   Konsep Pendidikan Multikultural dari Berbagai Pemikiran

Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan yang penuh penfsiran antara satu pakar dengan pakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri.

Meminjam pendapat Andersen dan Cusher (1994:320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan / sunnatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.

      Dalam bukunya, Muhaemin el Ma’hadi,   Multicultural Education: a Teacher Guide to Linking Context, Proces, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks. Atau,dengan lain kata,bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai nilai multikultularisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural),baik latar belakang maupun basis sosio-budaya yang melingkupinya.[1]

Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire (pakar pendidikan pembebasan), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.

James Banks (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu: Pertama, content Intergration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisai dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakterisitik ras siswa dan menentuka metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan – kegiatan, Berinteraksi dengan siswa yang berbeda etnis dn ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.

Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari   berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” sesuai Perang Dunia II.

 

 

B.   Strategi Pengelolaan Pembelajaran Multikultural

Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu.

Dengan kata lain, variabel sekolah terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan hak yang sama dalam proses pendidikan. Mereka lebih menjadi suatu subyek dari pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang mampu mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif. Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep, pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Oleh karena itu, strategi pembelajaran multikultural digunakan agar mempermudah  proses pembelajaran yang diantaranya adalah sebagai berikut :

1.       Melakukan Analisis Faktor Potensial Bernuansa Multikultural

Analisis faktor yang penting yaitu keterampilan (skills), dan etika atau  karakter (ethic atau disposition); (b) tuntutan belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang untuk belajar dan menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi guru dalam menerapkan pendekatan multikultural.[2] Guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Menetapkan Strategi Pembelajaran Berkadar Multikultural

 

Berbagai upaya yang dapat dilakukan seiring dengan cita-cita reformasi sekarang ini tampaknya sedang mengalami kemacetan. Maka, ada baiknya digulirkan kembali guna mewujudkan tujuan agungnya, yakni masyarakat Madani yang demokratis dan tidak diskriminatif. Sebagai model, maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhineka Tunggal Ika, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal. Dalam upaya ini, haruslah dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan setempat, atau pada tingkat lokal maupun nasional, serta berbagai corak dinamikanya.

Strategi pedoman etika ini akan membantu upaya pemberantasan KKN secara hukum. Upayanya adalah dengan menggunakan strategi kebudayaan, diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Proses enkulturasi harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih strategis, khususnya menyangkut penggunaan media yang berperan dengan baik dalam menanamkan nilai-nilai budaya. Fungsi keluarga dan sekolah perlu mendapatkan perhatian dengan optimalisasi peran.

2.      Pembelajaran kebudayaa perlu dilakukan melalui berbagai institusi, dengan meningkatkan peran lembaga pendidikan . Sosialisasi dan aktualisasi pemahaman kebudayaan yang tepat dan mendalam perlu dilakukan melalui berbagai cara dengan memberikan pengalaman kebudayaan secara langsung.

3.      Penciptaan minat terhadap kebudayaan merupakan proses yang penting untuk mendidik masyarakat tentang perlunya kebudayaan baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Minat ini diharapkan akan mendorong perhatian dan kebutuhan masyarakat terhadap berbagai sumber kebudayaan yang kaya, baik filsafat pengetahuan, nilai-nilai, maupun warisan budaya.

4.      Pemberdayaan kebudayaan suku bangsa di berbagai tempat merupakan kebutuhan yang mendesak untuk dilakukanny., khususnya dengan mendukung berbagai kegiatan budaya dan penguatan kelembagaan, dengan memperhatikan aspek gender dan generasi. Proses ini ditujukan untuk optimalisasi peran kebudayaan dalam penataan sosial dalam komunitas.

5.      Pemahaman kebudayaan secara lintas budaya, baik dalam bentuk pengalaman interaksi maupun komunikasi, yang memungkinkan pengenalan budaya yang berbeda dan difusi unsur-unsur kebudayaan dalam berbagai dimensinya ke dalam kehidupan berbagai kelompok masyarakat. Dengan cara ini basis-basis integrasi dan kohesi sosial diharapkan dapat terbentuk.

6.      Konflik yang terjadi di berbabagi tempat dalam berbagai bentuknya dapat dipicu oleh berbagai proses sejalan dengan globalisasi. Peran lembaga mediasi pada tingkat lokal yang memiliki strategi yang kontekstual perlu diberdayakan agar berfungsi dengan baik.

7.      Nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi sebagai aturan dalam melindungi kekayaan budaya harus di fungsikan dan dikuatkan kembali dalam melestarikan kebudayaan dalam berbagai bentuknya.

8.      Penguatan kelembagaan dalam berbagai bentuknya, baik dalam lingkup keluaraga, lembaga pendidikan, lembaga adat, maupun lembaga formal lainnya, perlu dilakukan. Berbagai lembaga tersebut tidak hanya fungsi dalam enkulturasi dan internalisasi berbagai aspek kebudayaan saja, tetapi juga dalam pengembangan kebudayaan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik.

9.      Proses pengembangan kebudayaan selain berorientasi pada pengembangan rasionalitas, seyogyanya juga menekankan pada pendidikan moral, karena hal itu akan melahirkan kepribadian bangsa dan budi pekerti dalam jiwa setiap individu, yang dengan cara ini etika sosial dalm kehidupan bermasyarakat dapat dikembangkan dalam menciptakan masyarakat yang damai.

10.  Peranan negara sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan pola kebudayaan yang sesuai untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.

Upaya-upaya tersebut tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah, nasional maupun daerah dalam berbagai level,tidak ikut serta dalam memajukannya. Ketidakinginan mengubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguassan atas sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Oleh karena itu, strategi perlu dilaksanakan secara bersama agar terwujud seperti yang telah dicita-citakan.[3]

C.   Peran Guru Pendidik dalam Menerapkan Pendidikan Multikultural

Guru merupakan ujung tombak dari pengembangan pendidikan multikultural. Peran guru sangat menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya pada peserta didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar, dan kepribadian guru sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran, oleh karena itu guru perlu memahami langkah-langkah penting dalam penerapan pendidikan multikultural.

Apabila guru dapat melaksanakan pengajran secara efektifdan efisien dalam merekayasa pengjaran di sekolah, dengan sendirinya akan berlangsung proses belajar mengajar yang efisien dan efektif. Sehingga, pada akhirnya terwujudlah pola tingkah laku yang diharapkan. Apabila sekolah mampu berfungsi sebagai lembaga rekayasa pengubahan pola tingkah laku yang ampuh, sekolah mempunyai kedudukan dan peranan yang menentukan dalam memacu kemajuan masyarakat modern.[4]

Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan pembelajaran (instructional goals) adalah untuk memperbaiki distorsi, stereotipe, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menjelaskan dinamika kultural.

Untuk itu, peran guru penting untuk membangun kesadaran kepada peserta didik agar mampu melihat secara postif tentang keberagaman bahasa yang ada, diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Gender

Gender adalah peran, maksudnya sifat dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam peran sebagai perempuan dan laki-laki. Meskipun saat ini hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di anggap sama. Namun, dalam realitanya kita masih melihat adanya peminggiran hak-hak perempuan seperti jumlah wanita yang masih sedikit di lembaga legislatif (DPR) sekitar 97 orang atau 17,32% dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, citra negatif yang lebih mudah melekat pada perempuan yang memiliki status tertentu. Disinilah peran guru sangat strategis dalam membangun kesadaran peserta didik untuk menjunjung hak yang sama dan membangun sikap anti diskriminatif. Agar dapat mewujudkan sikap seperti itu, guru mempunya peran:

  1. Guru mempunyai wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender. Wawasan ini penting karena guru adalah figur utama yang menjadi pusat perhatian siswa dikelas, maka harus mampu bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap peserta didik perempuan maupun laki-laki.
  2. Peka terhadap permasalahan gender. Seorang guru harus peka terhadap permasalahan gender yang terjadi di dalam maupun diluar kelas karena seorang guru berperan dalam mencegah dan memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa tindakan diskriminasi gender mereka adalah tindakan yang tidak dibenarkan.

 

2.      Perbedaan Status Sosial

Dalam Negara yang sedang dilanda krisis sosial seperti Indonesia, timbulnya kesenjangan sosial di dalam kelompok masyarakat yang miskin dan kaya sulit dihindari. Hal ini menimbulkan berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat. Seperti, kelompok masyarakat kelas atas yang mempunyai sumber penghasilan yang lebih. Kelompok masyarakat kelas menengah yakni yang mempunyai penghasilan tetap yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Dan kelompok masyarakat kelas bawah, yakni golongan masyarakat yang yang tidak mempunyai penghasilan tetap tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan.

Dari realitas yang ada, biasanya kelompok masyarakat kelas atas cenderung lebih berkuasa. Misalnya, siswa yang berstatus sebagai anak pejabat atau orang kaya di perlakukan berbeda dengan siswa yang termasuk kelompok masyarakat kelas bawah.

Guru mempunyai peran penting dalam menumbuhkan sikap kepedulian sosial siswa antara lain:

  1. Seorang guru mempunyai wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena sosial yang ada di lingkungan murid-muridnya. Terutama yang berkaitan dengan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi seperti masalah kemiskinan, pengangguran, korupsi, sehingga seorang guru berperan sebagai pendidik yang memberikan pengajaran terhadap masalah sosial yang ada.
  2. Guru berperan dalam kepekaan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik yang sedang terjadi.
  3. Guru harus berperan dalam menerapkan secara langsung sikap anti diskriminatif, sosial, politik dan ekonomi di kelas.

3.      Perbedaan Etnis

Adanya keberagaman etnis dan ras yang berbeda di Indonesia seharusnya tidak membuat masyarakat terpecah belah dan saling memusuhi. Dalam sejarah banyak kisah yang menceritakan pernah terjadi konflik antar etnis di Indonesia seperti yang terjadi di Kalimantan barat sejak tahun 1933 dan di Sampit Kalimantan Tengah akhir tahun 2000 terjadi kerusuhan antara etnis Madura dan Dayak yang menyebabkan banyak korban sia-sia.

Perlakuan diskriminasi yang kerap terjadi di sekolah misalnya, anak dengan etnis tertentu sering di bully karena dianggap beda dengan teman-temannya. Peran guru sangat penting unuk menghindari hal ini, antara lain:

  1. Guru berperan dalam pengajaran pemahaman dan wawasan tentang sikap anti diskriminasi etnis.
  2. Guru sebaiknya memiliki kepekaan yang kuat mengenai gejala-gejala diskriminasi etnis. Sekecil apapun bentuknya yang terjadi di dalam dan di luar kelas.
  3. Guru berperan dalam memberikan contoh secara langsung melalui sikap dan tingkah lakunya yang tidak memihak atau berlaku diskriminatif terhadap siswa yang mempunyai latar belakang etnis atau ras tertentu.        

4.      Perbedaan Kemampuan

Manusia dilahirkan dengan kemampuan berbeda, ada yang dilahirkan berbeda secara fisik seperti diffable, tuna netra dan lain-lain. Dan aja juga yang berbeda secara non fisik seperti gangguan mental dan tingkat kecerdasan yang rendah.

Perbedaan kemampuan tersebut, dapat menyebabkan timbulnya diskriminasi dan pengurangan hak-hak individu terhadap seseorang yang mempunyai kemampuan berbeda. Hal ini akan memberikan hambatan bagi mereka untuk menjalankan aktifitasnya dan berperanserta di masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan multikultural perlu memberikan adanya upaya-upaya untuk menumbuhkan pemahaman dan sikap siswa agar selalu menghormati, menghargai dan melindungi hak-hak orang lain yang mempunyai perbedaan kemampuan. Peran guru penting unuk menerapkan hal ini, antara lain:

  1. Guru mempunyai wawasan dan pemahaman yang baik tentang pentingnya sikap anti diskriminasi terhadap orang-orang yang mempunyai perbedaan kemampuan.
  2. Guru harus tanggap melihat adanya diskriminasi yang berkaitan dengan kemampuan ini dan memberikan pemahaman kepada siswa bahwa semua manusia mempunyai kekurangan tergantung bagaimana dapat mengelola kekurangan tersebut menjadi kelebihan.

5.      Perbedaan Umur

Kesalah pahaman dalam memahami dan mengartikan apa yang diucapkan oleh lawan bicara, kadang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sering terjadi diakibatkan oleh perbedaan umur menyebabkan perbedaan pengetahuan antara individu. Misalnya, kemampuan berbicara, memahami dan menganalisa siswa kelas satu SD yang masih berusia 6 tahun berbeda dengan kemapuan siswa kelas empat yang terusia 10 tahun.

Selain terjadi kesalahpahaman, perbedaan umur juga dapat menimbulkan diskriminasi terhadap anak dibawah umur dan orang yang berusia lanjut. Bentuk diskrimanasi yang terjadi beragam. Seperti pengesampingan hak-hak anak untuk berkembang, untuk mendapatkan perlindungan hukum, umtuk mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan untuk mendapatkan pendidian yang layak. Lebih lanjut diskriminasi ini dapat juga berbentuk kekerasan terhadap anak dibawah umur, pelecehan seksual erhadap anak dan pemaksaan terhadap anak dibawah umur untuk bekerja.

Sekolah harus menerapkan peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap umur tertentu dilarang. Serta memberikan contoh sikap yang tidak diskriminatif terhadap orang lain yang berbeda umur dengannya dan bagaimana bersikap dengan orang yang umurnya berbeda.[5]

 

D.   Nilai Demokratisasi Pendidikan dan Implementasinya di Sekolah, Masyarakat   dan Keluarga

 

Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

 

Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1).

Lebih jelasnya,  berikut ini;[6]

1.      Sebagai Sarana Alternatif Pemecahan Konflik baik dalam Lingkup Sekolah, Keluarga dan Masyarakat.

Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantanan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Memang, pendidikan kebangsaaan dan ideologi telah banyak diberikan di pergurun tinggi (PT), namun pendidikan multikultural belum diberikan dengan proporsi yang benar.

Pada dasarnya, model-model pembelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu masih kurang memadai sebagai sarana pendidikan guna menghargai perbedaan masing - masing suku, budaya, etnis. Hal itu terlihat dengan munculnya konflik yang kerap terjadi pada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal itu menunjukkan bahwa pemahaman toleransi masih amat kurang.

Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil bila terbentuk pada diri siswa dan mahasiswa sikap hidup saling toleran, tidak bemusuhan dan berkonflik yang disebabkan oleh pebedaan budaya, suku, bahasa, adat istiadat atau lainnya.

2.      Supaya Siswa/Anak Tidak Tercerabut dari Akar Budayanya

Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antarbudaya menjadi ‘ancaman’ serius bagi  anak didik. Mengingat bergamnya realitas kebudayaan di negeri ini, dan diluar negeri, siswa di era globalisasi ini sudah tentu perlu diberi materi tentang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multikulturalisme, agar siswa tidak tercerabut dari akar budayanya itu.

Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan globalisasi, utamanya dalam aspek kebudayaan. Sebab, anak didik di Indonesia masa kini, dalam banyak hal, jauh berbeda dengan anak anak seusianya di masa lalu. Berbagai budaya yang sudah ada di negeri ini, berbaur dengan banyak budaya asing yang kian mudah diperoleh melalui beragam media, seperti televisi, internet, dll. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperpendek jarak dan memudahkan adanya persentuhan antarbudaya.

Hal senada juga diakui oleh Tilaar, bahwa pendidikan kita memang belum mempunyai pengalaman yang memadai dalam pendidikan multikultural. Oleh sebab itu, perlu dikaji dari berbagai segi apakah sebenarnya pendidikan multikultural itu, baik filsafat, metodologi, isi, maupun tantangan tantangan dalam pelaksanaanya. Ada baiknya juga apabila kita menimba dari pengalaman dari Negara Negara yang telah mengaplikasikan pendidikaan multikultural dalam masyarakat yang pluralistik serta dunia terbuka di era lobalisasi dewasa ini.

3.       Sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum Nasional

Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah langkah sebagai berikut:

a. Merubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah dapat diuabah ke filosofi  yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik, baik sebagai individu maupun sebagai angota masyarakat, bangsa, dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresivisme dan rekontruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.

b. Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.

e. Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tingi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan siswa belajar secara individualitis dan bersaing secara kompetitif individualistis harus ditingalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dala suatu situasi positif. Dengan cara demikian, perbedaan antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok, dan siswa terbiasa hidup dengan berbagai budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik.

f. Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat, tujuan dan informasi  yang ingin dikumpulkan. Penggunaan alternative assessment (portofolio, catatan observasi, wawancara) dapat pula digunakan.


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

 

Dengan mempelajari pendidikan multikultural dari berbagai pemahaman dan pemikiran dari berbagai tokoh, kita lebih dapat memahami konsep pendidikan multikultural untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial, dan kita juga dapat lebih memahami tentang strategi, peranan guru dan nilai demokratisasi pendidikan dalam pendidikan multikultural untuk mengimplementasikanya di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat.

Dengan begitu proses pembelajaran dan kegiatan-kegiatannya menjadi lebih efektif, efisien dan bijak dalam penerapannya setelah mengkaji secara mendalam baik dari berbagai pemikiran tokoh, peran guru dan strategi-strateginya. Sehingga akan terbina secara komprehensif dan diharapkan mampu menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul di masa depan.  Dan juga, segala penerapan tersebut harus tetap di dukung kompak, baik pemerintah maupun masyarakat agar terwujud sebagaimana mestinya.

 

Daftar Pustaka

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2018/07/06/352283/keluarga-berbasis-pendidikan-multikultural/

https://safnowandi.wordpress.com/2012/11/15/pembelajaran-berbasis-multikultural/feed/

https://mela799.wordpress.com/2016/03/05/peran-guru-dalam-pendidikan-multikultural/



[1] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016) hal.176

[2] Safnowandi, S.Pd, M.Pd dalam artikel Pembelajaran Berbasis Multikultural, wordpres, 2012

[3] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016) hal.247

[4] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016) hal.43

[5] Famella Muti S, Dalam Jurnal “Peran Guru Dalam Pendidikan Multikultural”, 2015

[6] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016) hal.216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru yang Baik dan Professional dalam Mengajar

Guru yang Baik dan Profesional               Guru adalah orang tua kedua bagi para siswa ketika berada di sekolah. Yang tugasnya tidak h...