
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A.
Latar
Belakang Masalah.................................................................................2
B.
Rumusan
Masalah...........................................................................................2
Bab II Pembahasan
A.
Konsep
Pendidikan Multikultural dari Berbagai Pemikiran..................3
B.
Strategi
Pengelolaan Pembelajaran Multikultural..................................5
C.
Peran
Guru Pendidik dalam Menerapkan Pendidikan Multikultural.....7
D.
Nilai
Demokratisasi Pendidikan dan Implementasinya di Sekolah, Masyarakat dan Keluarga.........................................................................................11
Bab III Penutup
A. Kesimpulan.....................................................................................................14
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada prinsipnya, pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Tentu saja untuk mendesain
pendidikan multikultural secara praksis, itu tidak mudah. Tetapi paling tidak
kita mencoba melakukan ijtihad untuk mendesain sesuai dengan prinsip-prinsip
pendidikan multikulturalisme. Setidaknya ada dua hal bila kita akan mewujudkan
pendidikan multikultural yang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua
kebudayaan untuk berekspresi. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban
dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada
kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari
kebudayaan yang lain. Anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari
kebudayaan lain akan melahirkan fasisme, nativisme, dan chauvinisme.
Pada sentra-sentra kebudayaan,
seperti kota-kota besar, di mana hidup berbagai macam etnis di dalamnya,
pertemuan antar kebudayaan merupakan persoalan yang menarik. Dari hasil
pertemuan ini timbul sebuah kreativitas baru yang pada akhirnya memperkaya
kebudayaan. Kuncinya adalah kreativitas dan dinamik. Sistem kebudayaan yang demikian
sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan yang akan terjadi di masa depan.
Dengan mempelajari pendidikan multikultural dari berbagai pandangan
dan pemikiran dari berbagai tokoh, kita lebih dapat memahami konsep pendidikan
multikultural untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial, dan kita
juga dapat lebih memahami tentang strategi, peranan guru dan nilai demokrasi
pendidikan dalam pendidikan multikultural untuk mengimplementasikanya di
lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja konsep pembelajaran multikultural dari berbagai pemikiran ?
2. Bagaimana strategi pengelolaan pembelajaran multikultural ?
3. Bagaimana peran guru, pendidik dalam menerapkan pendidikan
multikultural ?
4. Apa saja nilai demokratisasi pendidikan dan implementasinya di
sekolah, masyarakat dan keluarga ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Multikultural dari Berbagai Pemikiran
Sebetulnya,
sama dengan definisi pendidikan yang penuh penfsiran antara satu pakar dengan
pakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri.
Meminjam pendapat Andersen dan Cusher (1994:320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan / sunnatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Dalam bukunya, Muhaemin el Ma’hadi, Multicultural Education: a Teacher Guide to Linking Context, Proces, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks. Atau,dengan lain kata,bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai nilai multikultularisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural),baik latar belakang maupun basis sosio-budaya yang melingkupinya.[1]
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire (pakar pendidikan pembebasan), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.
James Banks (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu: Pertama, content Intergration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisai dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya (culture) ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakterisitik ras siswa dan menentuka metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan – kegiatan, Berinteraksi dengan siswa yang berbeda etnis dn ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang
“interkulturalisme” sesuai Perang Dunia II.
B.
Strategi Pengelolaan Pembelajaran Multikultural
Kondisi keberagaman masyarakat dan
budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang
bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling
mengenal budaya orang lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya
orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa
sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan
sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara
keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok
tertentu.
Dengan kata lain, variabel sekolah
terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan
hak yang sama dalam proses pendidikan. Mereka lebih menjadi suatu subyek dari
pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang mampu
mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif.
Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep,
pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Oleh karena itu, strategi
pembelajaran multikultural digunakan agar mempermudah proses pembelajaran yang diantaranya adalah
sebagai berikut :
1.
Melakukan Analisis Faktor Potensial Bernuansa
Multikultural
Analisis faktor
yang penting yaitu keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau disposition); (b)
tuntutan belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang untuk
belajar dan menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi
guru dalam menerapkan pendekatan multikultural.[2]
Guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan
referensi latar budaya siswanya. (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Menetapkan
Strategi Pembelajaran Berkadar Multikultural
Berbagai upaya yang dapat dilakukan
seiring dengan cita-cita reformasi sekarang ini tampaknya sedang mengalami
kemacetan. Maka, ada baiknya digulirkan kembali guna mewujudkan tujuan
agungnya, yakni masyarakat Madani yang demokratis dan tidak diskriminatif. Sebagai
model, maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang
berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhineka Tunggal Ika, yang
melandasi corak struktur masyarakat Indonesia baik pada tingkat nasional maupun
lokal. Dalam upaya ini, haruslah dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya
bagi keanekaragaman kebudayaan setempat, atau pada tingkat lokal maupun
nasional, serta berbagai corak dinamikanya.
Strategi pedoman etika ini akan
membantu upaya pemberantasan KKN secara hukum. Upayanya adalah dengan
menggunakan strategi kebudayaan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Proses
enkulturasi harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih strategis, khususnya
menyangkut penggunaan media yang berperan dengan baik dalam menanamkan
nilai-nilai budaya. Fungsi keluarga dan sekolah perlu mendapatkan perhatian
dengan optimalisasi peran.
2. Pembelajaran
kebudayaa perlu dilakukan melalui berbagai institusi, dengan meningkatkan peran
lembaga pendidikan . Sosialisasi dan aktualisasi pemahaman kebudayaan yang
tepat dan mendalam perlu dilakukan melalui berbagai cara dengan memberikan
pengalaman kebudayaan secara langsung.
3. Penciptaan
minat terhadap kebudayaan merupakan proses yang penting untuk mendidik
masyarakat tentang perlunya kebudayaan baik dalam kehidupan individu maupun
sosial. Minat ini diharapkan akan mendorong perhatian dan kebutuhan masyarakat
terhadap berbagai sumber kebudayaan yang kaya, baik filsafat pengetahuan,
nilai-nilai, maupun warisan budaya.
4. Pemberdayaan
kebudayaan suku bangsa di berbagai tempat merupakan kebutuhan yang mendesak
untuk dilakukanny., khususnya dengan mendukung berbagai kegiatan budaya dan
penguatan kelembagaan, dengan memperhatikan aspek gender dan generasi. Proses
ini ditujukan untuk optimalisasi peran kebudayaan dalam penataan sosial dalam
komunitas.
5. Pemahaman
kebudayaan secara lintas budaya, baik dalam bentuk pengalaman interaksi maupun
komunikasi, yang memungkinkan pengenalan budaya yang berbeda dan difusi
unsur-unsur kebudayaan dalam berbagai dimensinya ke dalam kehidupan berbagai
kelompok masyarakat. Dengan cara ini basis-basis integrasi dan kohesi sosial
diharapkan dapat terbentuk.
6. Konflik yang
terjadi di berbabagi tempat dalam berbagai bentuknya dapat dipicu oleh berbagai
proses sejalan dengan globalisasi. Peran lembaga mediasi pada tingkat lokal
yang memiliki strategi yang kontekstual perlu diberdayakan agar berfungsi
dengan baik.
7. Nilai-nilai
dan norma-norma yang berfungsi sebagai aturan dalam melindungi kekayaan budaya
harus di fungsikan dan dikuatkan kembali dalam melestarikan kebudayaan dalam
berbagai bentuknya.
8. Penguatan
kelembagaan dalam berbagai bentuknya, baik dalam lingkup keluaraga, lembaga
pendidikan, lembaga adat, maupun lembaga formal lainnya, perlu dilakukan.
Berbagai lembaga tersebut tidak hanya fungsi dalam enkulturasi dan
internalisasi berbagai aspek kebudayaan saja, tetapi juga dalam pengembangan
kebudayaan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik.
9. Proses
pengembangan kebudayaan selain berorientasi pada pengembangan rasionalitas,
seyogyanya juga menekankan pada pendidikan moral, karena hal itu akan
melahirkan kepribadian bangsa dan budi pekerti dalam jiwa setiap individu, yang
dengan cara ini etika sosial dalm kehidupan bermasyarakat dapat dikembangkan
dalam menciptakan masyarakat yang damai.
10. Peranan negara
sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan pola kebudayaan yang sesuai untuk menuju
masyarakat yang dicita-citakan.
Upaya-upaya tersebut tidak akan mungkin dapat
dilaksanakan bila pemerintah, nasional maupun daerah dalam berbagai level,tidak
ikut serta dalam memajukannya. Ketidakinginan mengubah tatanan yang ada
biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh
dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguassan atas sumber daya
yang ada dan pendistribusiannya. Oleh karena itu, strategi perlu dilaksanakan
secara bersama agar terwujud seperti yang telah dicita-citakan.[3]
C.
Peran Guru Pendidik dalam Menerapkan Pendidikan Multikultural
Guru merupakan
ujung tombak dari pengembangan pendidikan multikultural. Peran guru sangat
menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya pada peserta
didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar, dan kepribadian guru
sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran, oleh karena itu guru perlu
memahami langkah-langkah penting dalam penerapan pendidikan multikultural.
Apabila guru
dapat melaksanakan pengajran secara efektifdan efisien dalam merekayasa
pengjaran di sekolah, dengan sendirinya akan berlangsung proses belajar
mengajar yang efisien dan efektif. Sehingga, pada akhirnya terwujudlah pola
tingkah laku yang diharapkan. Apabila sekolah mampu berfungsi sebagai lembaga
rekayasa pengubahan pola tingkah laku yang ampuh, sekolah mempunyai kedudukan
dan peranan yang menentukan dalam memacu kemajuan masyarakat modern.[4]
Sedangkan
tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan pembelajaran (instructional
goals) adalah untuk memperbaiki distorsi, stereotipe, dan kesalahpahaman
tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberikan
berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan
alat-alat konseptual untuk komunikasi antar budaya; mengembangkan keterampilan
interpersonal; memberikan teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai;
dan menjelaskan dinamika kultural.
Untuk itu, peran guru penting untuk membangun
kesadaran kepada peserta didik agar mampu melihat secara postif tentang
keberagaman bahasa yang ada, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Gender
Gender adalah peran, maksudnya sifat
dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam peran sebagai perempuan
dan laki-laki. Meskipun saat ini hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di
anggap sama. Namun, dalam realitanya kita masih melihat adanya peminggiran
hak-hak perempuan seperti jumlah wanita yang masih sedikit di lembaga
legislatif (DPR) sekitar 97 orang atau 17,32% dibandingkan dengan laki-laki.
Selain itu, citra negatif yang lebih mudah melekat pada perempuan yang memiliki
status tertentu. Disinilah peran guru sangat strategis dalam membangun
kesadaran peserta didik untuk menjunjung hak yang sama dan membangun sikap anti
diskriminatif. Agar dapat mewujudkan sikap seperti itu, guru mempunya peran:
- Guru
mempunyai wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender. Wawasan ini
penting karena guru adalah figur utama yang menjadi pusat perhatian siswa
dikelas, maka harus mampu bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap
peserta didik perempuan maupun laki-laki.
- Peka
terhadap permasalahan gender. Seorang guru harus peka terhadap permasalahan
gender yang terjadi di dalam maupun diluar kelas karena seorang guru
berperan dalam mencegah dan memberikan pemahaman kepada peserta didik
bahwa tindakan diskriminasi gender mereka adalah tindakan yang tidak
dibenarkan.
2. Perbedaan
Status Sosial
Dalam Negara yang sedang dilanda
krisis sosial seperti Indonesia, timbulnya kesenjangan sosial di dalam kelompok
masyarakat yang miskin dan kaya sulit dihindari. Hal ini menimbulkan berbagai
kelompok sosial di dalam masyarakat. Seperti, kelompok masyarakat kelas atas
yang mempunyai sumber penghasilan yang lebih. Kelompok masyarakat kelas
menengah yakni yang mempunyai penghasilan tetap yang digunakan untuk mencukupi
kebutuhan pokok sehari-hari. Dan kelompok masyarakat kelas bawah, yakni golongan
masyarakat yang yang tidak mempunyai penghasilan tetap tetapi tidak dapat
mencukupi kebutuhan.
Dari realitas yang ada, biasanya
kelompok masyarakat kelas atas cenderung lebih berkuasa. Misalnya, siswa yang
berstatus sebagai anak pejabat atau orang kaya di perlakukan berbeda dengan
siswa yang termasuk kelompok masyarakat kelas bawah.
Guru mempunyai peran penting dalam
menumbuhkan sikap kepedulian sosial siswa antara lain:
- Seorang
guru mempunyai wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena sosial
yang ada di lingkungan murid-muridnya. Terutama yang berkaitan dengan ketidakadilan
sosial, politik, dan ekonomi seperti masalah kemiskinan, pengangguran,
korupsi, sehingga seorang guru berperan sebagai pendidik yang memberikan
pengajaran terhadap masalah sosial yang ada.
- Guru
berperan dalam kepekaan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan sosial,
ekonomi dan politik yang sedang terjadi.
- Guru
harus berperan dalam menerapkan secara langsung sikap anti diskriminatif,
sosial, politik dan ekonomi di kelas.
3. Perbedaan
Etnis
Adanya keberagaman etnis dan ras
yang berbeda di Indonesia seharusnya tidak membuat masyarakat terpecah belah
dan saling memusuhi. Dalam sejarah banyak kisah yang menceritakan pernah
terjadi konflik antar etnis di Indonesia seperti yang terjadi di Kalimantan
barat sejak tahun 1933 dan di Sampit Kalimantan Tengah akhir tahun 2000 terjadi
kerusuhan antara etnis Madura dan Dayak yang menyebabkan
banyak korban sia-sia.
Perlakuan diskriminasi yang kerap
terjadi di sekolah misalnya, anak dengan etnis tertentu sering di bully
karena dianggap beda dengan teman-temannya. Peran guru sangat penting unuk
menghindari hal ini, antara lain:
- Guru
berperan dalam pengajaran pemahaman dan wawasan tentang sikap anti
diskriminasi etnis.
- Guru
sebaiknya memiliki kepekaan yang kuat mengenai gejala-gejala diskriminasi
etnis. Sekecil apapun bentuknya yang terjadi di dalam dan di luar kelas.
- Guru
berperan dalam memberikan contoh secara langsung melalui sikap dan tingkah
lakunya yang tidak memihak atau berlaku diskriminatif terhadap siswa yang
mempunyai latar belakang etnis atau ras tertentu.
4. Perbedaan
Kemampuan
Manusia dilahirkan dengan kemampuan
berbeda, ada yang dilahirkan berbeda secara fisik seperti diffable, tuna
netra dan lain-lain. Dan aja juga yang berbeda secara non fisik seperti
gangguan mental dan tingkat kecerdasan yang rendah.
Perbedaan kemampuan tersebut, dapat
menyebabkan timbulnya diskriminasi dan pengurangan hak-hak individu terhadap
seseorang yang mempunyai kemampuan berbeda. Hal ini akan memberikan hambatan
bagi mereka untuk menjalankan aktifitasnya dan berperanserta di masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut,
pendidikan multikultural perlu memberikan adanya upaya-upaya untuk menumbuhkan
pemahaman dan sikap siswa agar selalu menghormati, menghargai dan melindungi
hak-hak orang lain yang mempunyai perbedaan kemampuan. Peran guru penting unuk
menerapkan hal ini, antara lain:
- Guru
mempunyai wawasan dan pemahaman yang baik tentang pentingnya sikap anti
diskriminasi terhadap orang-orang yang mempunyai perbedaan kemampuan.
- Guru
harus tanggap melihat adanya diskriminasi yang berkaitan dengan kemampuan
ini dan memberikan pemahaman kepada siswa bahwa semua manusia mempunyai
kekurangan tergantung bagaimana dapat mengelola kekurangan tersebut
menjadi kelebihan.
5. Perbedaan
Umur
Kesalah pahaman dalam memahami dan
mengartikan apa yang diucapkan oleh lawan bicara, kadang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini sering terjadi diakibatkan oleh perbedaan umur
menyebabkan perbedaan pengetahuan antara individu. Misalnya, kemampuan
berbicara, memahami dan menganalisa siswa kelas satu SD yang masih berusia 6
tahun berbeda dengan kemapuan siswa kelas empat yang terusia 10 tahun.
Selain terjadi kesalahpahaman,
perbedaan umur juga dapat menimbulkan diskriminasi terhadap anak dibawah umur
dan orang yang berusia lanjut. Bentuk diskrimanasi yang terjadi beragam.
Seperti pengesampingan hak-hak anak untuk berkembang, untuk mendapatkan
perlindungan hukum, umtuk mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan
untuk mendapatkan pendidian yang layak. Lebih lanjut diskriminasi ini dapat
juga berbentuk kekerasan terhadap anak dibawah umur, pelecehan seksual erhadap
anak dan pemaksaan terhadap anak dibawah umur untuk bekerja.
Sekolah harus menerapkan peraturan
atau undang-undang yang menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap
umur tertentu dilarang. Serta memberikan contoh sikap yang tidak diskriminatif
terhadap orang lain yang berbeda umur dengannya dan bagaimana bersikap dengan
orang yang umurnya berbeda.[5]
D.
Nilai Demokratisasi Pendidikan dan Implementasinya di Sekolah,
Masyarakat dan Keluarga
Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan
dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga
negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1).
Lebih jelasnya, berikut ini;[6]
1.
Sebagai
Sarana Alternatif Pemecahan Konflik baik dalam Lingkup Sekolah, Keluarga dan
Masyarakat.
Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang
amat beragam menjadi tantanan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaaan
tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Memang, pendidikan kebangsaaan
dan ideologi telah banyak diberikan di pergurun tinggi (PT), namun pendidikan
multikultural belum diberikan dengan proporsi yang benar.
Pada dasarnya, model-model pembelajaran
sebelumnya yang berkaitan dengan kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu masih
kurang memadai sebagai sarana pendidikan guna menghargai perbedaan masing -
masing suku, budaya, etnis. Hal itu terlihat dengan munculnya konflik yang
kerap terjadi pada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal itu
menunjukkan bahwa pemahaman toleransi masih amat kurang.
Maka, penyelenggaraan pendidikan
multikultural dapat dikatakan berhasil bila terbentuk pada diri siswa dan
mahasiswa sikap hidup saling toleran, tidak bemusuhan dan berkonflik yang
disebabkan oleh pebedaan budaya, suku, bahasa, adat istiadat atau lainnya.
2.
Supaya
Siswa/Anak Tidak Tercerabut dari Akar Budayanya
Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan
antarbudaya menjadi ‘ancaman’ serius bagi
anak didik. Mengingat bergamnya realitas kebudayaan di negeri ini, dan
diluar negeri, siswa di era globalisasi ini sudah tentu perlu diberi materi
tentang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multikulturalisme, agar siswa
tidak tercerabut dari akar budayanya itu.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan
langkah antisipatif terhadap tantangan globalisasi, utamanya dalam aspek
kebudayaan. Sebab, anak didik di Indonesia masa kini, dalam banyak hal, jauh
berbeda dengan anak anak seusianya di masa lalu. Berbagai budaya yang sudah ada
di negeri ini, berbaur dengan banyak budaya asing yang kian mudah diperoleh
melalui beragam media, seperti televisi, internet, dll. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi memperpendek jarak dan memudahkan adanya persentuhan antarbudaya.
Hal senada juga diakui oleh Tilaar, bahwa
pendidikan kita memang belum mempunyai pengalaman yang memadai dalam pendidikan
multikultural. Oleh sebab itu, perlu dikaji dari berbagai segi apakah
sebenarnya pendidikan multikultural itu, baik filsafat, metodologi, isi, maupun
tantangan tantangan dalam pelaksanaanya. Ada baiknya juga apabila kita menimba
dari pengalaman dari Negara Negara yang telah mengaplikasikan pendidikaan
multikultural dalam masyarakat yang pluralistik serta dunia terbuka di era
lobalisasi dewasa ini.
3.
Sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum
Nasional
Pengembangan kurikulum masa depan yang
berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah
langkah sebagai berikut:
a. Merubah filosofi kurikulum dari yang
berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan
tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk
tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif seperti esensialisme dan
perenialisme haruslah dapat diuabah ke filosofi
yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan
kemanusiaan peserta didik, baik sebagai individu maupun sebagai angota
masyarakat, bangsa, dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti
humanisme, progresivisme dan rekontruksi sosial dapat dijadikan landasan
pengembangan kurikulum.
b. Teori belajar yang digunakan dalam
kurikulum masa depan yang memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan
politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar
yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, yang hidup
sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia yang harus diseragamkan
oleh institusi pendidikan.
e. Proses belajar yang dikembangkan untuk
siswa haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang
tingi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan siswa
belajar secara individualitis dan bersaing secara kompetitif individualistis
harus ditingalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing
secara kelompok dala suatu situasi positif. Dengan cara demikian, perbedaan
antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok, dan siswa
terbiasa hidup dengan berbagai budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan
aspirasi politik.
f. Evaluasi yang digunakan haruslah
meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai
dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan
haruslah beragam sesuai dengan sifat, tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan. Penggunaan alternative
assessment (portofolio, catatan observasi, wawancara) dapat pula digunakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan mempelajari pendidikan multikultural dari berbagai pemahaman
dan pemikiran dari berbagai tokoh, kita lebih dapat memahami konsep pendidikan
multikultural untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial, dan kita
juga dapat lebih memahami tentang strategi, peranan guru dan nilai demokratisasi
pendidikan dalam pendidikan multikultural untuk mengimplementasikanya di
lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat.
Dengan begitu proses pembelajaran dan kegiatan-kegiatannya menjadi
lebih efektif, efisien dan bijak dalam penerapannya setelah mengkaji secara
mendalam baik dari berbagai pemikiran tokoh, peran guru dan
strategi-strateginya. Sehingga akan terbina secara komprehensif dan diharapkan mampu
menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul di masa depan. Dan juga, segala penerapan tersebut harus
tetap di dukung kompak, baik pemerintah maupun masyarakat agar terwujud
sebagaimana mestinya.
Daftar Pustaka
https://safnowandi.wordpress.com/2012/11/15/pembelajaran-berbasis-multikultural/feed/
https://mela799.wordpress.com/2016/03/05/peran-guru-dalam-pendidikan-multikultural/
[1] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016) hal.176
[2]
Safnowandi, S.Pd, M.Pd dalam artikel Pembelajaran Berbasis Multikultural,
wordpres, 2012
[3] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016) hal.247
[4] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016) hal.43
[5] Famella
Muti S, Dalam Jurnal “Peran Guru Dalam Pendidikan Multikultural”, 2015
[6] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016) hal.216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar