DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………..……………………………....4
B. Rumusan Masalah …………………..……………….…………………….4
C. Tujuan……………………………..………………….……………………4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan Multikultural di Kawasan Amerika...…………………………5
B. Pendidikan Multikultural di Kawasan Eropa……………………………...7
C. Pendidikan Multikultural di Kawasan Asia……………………………….8
D. Pendidikan Multikultural di Kawasan Afrika………………………..…....9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………..………….…………11
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah
SWT. Karena atas rahmatNYA kami dapat menyeselaian tugas makalah mata kuliah
Pendidikan Multikultural dari Bp. Dr. Miftahuddin, M .Ag. selaku dosen
pengampu. Pembuatan makalah bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Multikultural dengan judul makalah Pendidikan Multikultural Di
Kawasan Amerika, Eropa, Asia dan Afrika.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada pemilik sumber makalah ini walau tidak dapat
bertemu langsung dan kepada orang tua kami langsung yang selalu mendukung dan
mendoakan kami sehingga diberilah kemudahan oleh Allah SWT dalam proses
pengerjaan makalah ini.
Kami menyadari bahwa setiap manusia memiliki
keterbatasan masingmasing, termasuk kami
mungkin dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar- besarnya.
Kami berharap ada kritik dan saran dari pembaca sekalian agar menjadikan
motivasi bagi kami untuk lebih baik lagi kedepanya dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakanng
Keanekaragaman
sukubangsa dan budaya serta ras yang ada di berbagai Negara menyebabkan
keberagaman sistem sosial yang ada, seperti pendidikan, imigrasi, politik serta
lainnya. Dalam sistem sosial
masyarakat merupakan peranan penting, karena sistem sosial dapat terjadi jika
adanya suatu hubungan sosial dan hubungan sosial sendiri dilakuakn oleh
masyarakat, yang saling menghargai, menjujunjung demokrasi, non-rasisme, dan
non-diskriminatif antar sesama manusia.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pendidikan multicultural
di kawasan Amerika?
2.
Bagaimana pendidikan
multicultural di kawasan Eropa?
3.
Bagaimana pendidikan
multicultural di kawasan Asia?
4.
Bagaimana pendidikan
multicultural di kawasan Afrika?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui pendidikan
multicultural di kawasan Amerika.
2.
Untuk mengetahui pendidikan
multicultural di kawasan Eropa.
3.
Untuk mengetahui pendidikan
multicultural di kawasan Asia.
4. Untuk mengetahui pendidikan multicultural di kawasan Afrika.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Multikultural di Kawasan
Amerika
Menurut
Juju (2011:298) pendidikan multicultural di Amerika Serikat telah muncul
sejak tahun 1960-an. Ditinjau dari sejarahnya, pendidikan multicultural di
Amerika Serikat berkaitan dengan social dan hak-hak asasi manusia. Dulu menurut
sejarah di Amerika Serikat telah memosisikan orang yang berkulit putih atau
yang disebut Euro-American sebagai peenduduk yang mayoritas, begitu juga
sebaliknyaa orang yang memiiki kulit berwarna hitam sebagai minoritas.[1]
Di Amerika serikat orang yang berkulit putih
juga mendominasi pada bidang ekonomi, politik, dan pendidikan, sehingga
munculnya konflk dengan orang yang berkulit hitam yang memperjuangkan persamaan
haknya. Kemudian seiring berjalannya waktu banyak yang berimigran dari belahan
dunia ke Amerika Serikat, sehingga terjadi peningkatan jumlah penduduk, kemudian berimplikasi kepada
penyelenggaraan pendidikan, pembelajaran, dan pengajarannya untuk memperlakukan
peserta didik secara sama dan adil. Hal ini diimplementasikan kepada guru-guru
untuk menerapkan konsep-konsep pendidikan multicultural pada semua mata
pelajaran, termasuk juga seni tari. Dan juga guru-guru dituntut untuk memahami
bahkan mengenal siswa lebih dalam dan saling menghargai antar sesama.
Menurut
Murniati (2019: 24) pendidikan multicultural di Amerika mulai digalakkan
oleh James Bank yang mulai menulis tentang keragaman pada akhir 1960-an dan
sebagai sarjana yang melakukan penelitian yang berkaitan erat dengan
pertumbuhan dan pengembangan pendidikan multikultual itu sendiri[2].
Sehingga kehidupan di Amerika Serikat menjadi demokratis. Dan kemudian
mendorong perjuangan persamaan hak dan menerapkan konsep asimlasi yaitu
mengabaikan latar belakang etnik dan budayauntuk melebur pada sistem dan budaya
dominan orang kulit putih keturunan Eropa. Hal ini memicu terjadinya konflik
terutama antar etnik, suku, budaya, dan agama. Kemudian diganti menjadi konsep
cultural pluralism, yaitu konsep yang saling mendukung untuk mempertahankan
budayanya masing-masing dan saling menghargai.
Pendidikan mulitikultural di
Amerika Serikat berkaitan dengan sikap pendidik dan sekolah yang mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan dan mendukung pembelajaran untuk siswa dari latar
belakang dengan segala keunikan dan perbedaannya. Pembelajaran ini berdasarkan
nilai-nilai demokratis untuk mendidik siswa secara sama dan adil, tidak
membeda-bedakan antar sesama. Seperti ras, etnik, dsb. Menurut Juju (2011:303) di Amerika Serikat kelas social sebuah
kelas yang budaya dan sumber-sumber social lainnya.[3]
Hal ini untuk mempengaruhi cara peserta didik untuk berfikir dan bertindak.
Guru juga harus memiliki pemahaman tenang keberagaman dan kepribadian
siswa.
Menurut
Juju (2011:303) pembelajaran seni tari yang ada di Amerika Serikat
dilaksanakan oleh dua guru yang ditinjau dari cara mengajar guru, cara bersikap
kepada peserta didik di dalam kelas maupun diluar kelas, serta isi bahan yag
diajarkan dan cara pengajarannya. Mereka memandang keberagaman dan saling
percaya. Berinteraksi satu dengan yang lainnya tanpa membedakan latar belakang
peserta didik dan member ide serta motivasi. Guru tari memberikan kebebasan
kepada peserta didik untuk bereksplorasi, menentukan ide-ide gerakan tari serta
pembuatan koreografinya. Antara guru dan peserta didik saling member
kepercayaan untuk mengurangi cara yang hierarkis dan otoriter. Untuk pengajaran
peerta didik yang berkebutuhan khusus menggunakan unsur-unsur dasar tari,
terutama mengolah bagian-bagian badan siswa. Dan hal ini perlu dilakukan,
karena mereka juga berhak untuk belajar tari, dan mengerti keberagman.[4]
B. Pendidikan Multikultural di Eropa
Menurut
Ruslan (2008:120) pendidikan multicultural di Eropa yakni multikulturalisme
akomodatif yaitu masyarakat plural yang memiliki kultur dominan yang membuat
penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan cultural kaum
minoritas.[5]
Kelompok ini juga dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa Negara
Eropa lainnya.
Jenis kelompok ini
didukung oleh kelompok Iuebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok muslim
imigran di Eropa, yang menuntut untuk bisa menerapkan syari’ah, mendidik
anak-anak mereka pada sekolah Islam dan sebagainya.
Menurut
Farida (2015:7) sedangkan pendidikan multikultural di Inggris berkembang
sejalan dengan datangnya kaum migran, yang mendapat perlakuan diskriminatif
oleh pemerintah dan kaum mayoritas Inggris, sehingga menimbulkan gerakan yang
berlatar belakang budaya[6].
Gerakan ini merupakan gerakan politik yang didukung pandangan liberal,
demokrasi, dan gerakan kesetaraan manusia. Pendidikan multikultural di Inggris
bersifat antarbudaya etnis yang besar, yaitu budaya antarbangsa.
C. Pendidikan Multikultural di Asia
Menurut
Robert (2007:31) di kawasan Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia dan
Singapura sebagai contoh negara-negara yang mengalami tantangan pluralisme
budaya.[7].
Seksi-seksi etnis dan religius secara keseluruhan membentang jarak pada
masyarakat sehingga mereka tidak memiliki banyak kesamaan selain pertukaran
pasar. Indonesia, Malaysia dan Singapura telah banyak menyaksikan pertumbuhan
yang signifikan dalam pendapatan, organisasiorganisasi sipil dan dialog publik
sejak awal kemerdekaan. Di Singapura warga masyarakatnya telah mengalami
pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun kesabaran dan sikap moderat mereka telah
diabaikan oleh pemerintah. Kebanyakan orang Singapura merasa nilai-nilai yang
diklaim pemerintah sebagai nilai yang diperlukan bagi masa depan Singapura
terlalu berat sebelah dan tidak memberi ruang pada kompleksitas masyarakat.
Walaupun nilai-nilai bersama sering diabaikan pemerintah, namun Singapura
pantas dilirik sebagai kandidat yang baik bagi evolusi yang mantap.
Malaysia di tahun-tahun belakangan ini telah
mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam hubungannya dengan etnorelgius.
Meskipun pencapaian mereka tercerai berai dalam hal keadilan, kesetaraan dan
transparansi, kebijaksanaan-kebijaksanaan negara telah berhasil mendongkrak
pendapatan dan kepercayaan diri penduduk Melayu yang pada gilirannya mampu
mengurangi pengaruh ekonomis. Namun kemajuan-kemajuan yang telah dicapai
Malaysia di bidang pendidikan, infrastruktur dan penghapusan kemiskinan
semestinya diikuti dengan pertumbuhan masyarakat dewasa yang membutuhkan
politik sipil untuk membantu kemajuan sosial dan ekonominya. Pengadilan
terhadap Anwar Ibrahim dan pembangkang pro demokrasi mengindikasikan suatu
kemunduran serius. Contoh ini memberi kesan bahwa kemajuan-kemajuan yang
dicapai masyarakat semestinya diimbangi keadaban (civilized) negaranya
sendiri.
Indonesia pun mengalami problem yang sama. Kemajuan-kemajuan
yang dikondisikan oleh interaksi pluralis dalam pendidikan, pasar dan budaya
publik sangat mengesankan. Tetapi sejarah ketiga negara tersebut membuktikan,
bahwa pilar-pilar penyangga masyarakat modern tidak selalu berkembang secara
bersamaan. Hal yang sepatutnya diwaspadai adalah kepentingan-kepentingan elite
yang dominan melebihi demokrasi. Selain itu bahaya diskriminatif akan selalu
menjadi bayang-bayang yang menakutkan jika tidak dikelola dengan baik.
D. Pendidikan Multikultural di Afrika
Menurut
Murniati (2019:21) Afrika merupakan Negara yang terdapat penaklukan dan ditaklukkan,
imigrasi, pergolakan dan pemukiman, pekerjaan, perampasan, dominasi,
penindasan, serta konflik-konflik social yang berkaitan dengan multicultural,
terutama pendidikan. Pendidikan di Afrika selatan atau sekolah formal didirikan
pada tahun 1658.[8]
Kebijakan politik pendidikan mengalami perubahan. Sekolah menjadi tempat
pemerintahan untuk perjuangan hubungan social. Tetapi, bagi banyaknya
masyarakat kult putih, sekolah mereka merupakan daerah yang nyaman untuk
mempertahankan posisi hak istimewa mereka. Sebuah perjuangan pun terjadi antara
pemerintah baru dengan bekas sekolah putih yang berkaitan dengan ras dan budaya
sekolah.
Tahun 1996 presiden baru meluncurkan gerakan
yang memberikan perhatian yang besar terhadap kemajuan bangsa Afrika terlepas
dari jenis asal usul dan rassnya. Tahun 1997, meluncurkan Curriculum 2005
sebagai strategi untuk bergerak menjauh dari rasis, dan berdasarkan prinsip
yang berpusat pada nilaimilai demokrasi, non-rasialisme, dan non-seksime.
Respon dari kebijkan ini ditandai dengan
sikap saling toleransi antara kulit putih dan hitam. Dan hal ini menujukkan
bagaimana ras terstruktur dalam proses pengetahuan dan keputusan serta
diperknalkan kepada peserta didik tentang kesamaan manusia, serta terciptanya
inovasi dan perjuangan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan multkultural di
Amerika Serikat berkaitan dengan social dan hak-hak asasi manusia yang telah
memosisikan orang yang berkulit putih atau yang disebut Euro-American sebagai
peenduduk yang mayoritas, begitu juga sebaliknyaa orang yang memiiki kulit
berwarna hitam sebagai minoritas, kemudian beralih ke sikap pendidik dan
sekolah yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan multicultural di
Eropa yakni multikulturalisme akomodatif dan otonomis, yang berusama untuk
mengedepnkan kesamaan manusia dan masyarakat. Dan di kawasan Asia Tenggara:
Indonesia, Malaysia dan Singapura sebagai contoh negara-negara yang mengalami
tantangan pluralisme budaya, yang memajukan demokrasi. Di kawasan Afrika, ras
terstruktur dalam proses pengetahuan dan keputusan serta diperknalkan kepada
peserta didik tentang kesamaan manusia, serta terciptanya inovasi dan
perjuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Muniarti. 2019. Pendidikan Multikultural. Jakarta:
Penerbit Universitas
Katolik
Indonesia Atma Jaya
Agustian, Muniarti.
2019. Pendidikan Multikultural.
Jakarta: Penerbit Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya
Hanum,
Farida. 2015. Jurnal Pendidikan
Multikultural dalam Pluralisme Bangsa.
Nov 2015. Hlm. 7
Masunah, Juju. 2011. Jurnal
Konsep dan Praktik Pendidikan Multikultural di
Amerika Serikat dan Indonesia, …. Ibid., hlm. 298-303
Ibrahim,
Ruslan. 2008. Jurnal Pendidikan Multikultural Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama, Vol 1 No. 1,
2008, hlm 120
Masunah, Juju. 2011. Jurnal
Konsep dan Praktik Pendidikan Multikultural di
Amerika Serikat dan Indonesia, Jilid 17, Nomor 4, Februari 2011,
hlm.
298-302
Masunah, Juju. 2011. Jurnal
Konsep dan Praktik Pendidikan Multikultural di
Amerika Serikat dan Indonesia, Jilid 17, Nomor 4, Februari 2011,
hlm.
298-302
W
Hefner, Robert. 2007. Politik
Multikulturalisme, Menggugat Realitas
Kebangsaan.
Yogyakarta: Impulse
[1] Juju Masunah, Jurnal Konsep dan Praktik Pendidikan
Multikultural di Amerika Serikat dan Indonesia, Jilid 17, Nomor 4, Februari
2011, hlm. 298-302
[2] Muniarti Agustian, Pendidikan Multikultural, (Jakarta:
Penerbit Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, 2019), hlm. 24
[3] Juju Masunah, Jurnal Konsep dan Praktik Pendidikan
Multikultural di Amerika Serikat dan Indonesia, Jilid 17, Nomor 4, Februari
2011, hlm. 298-303.
[4] Ibid., hlm.
298-303
[5] Ruslan Ibrahim, Jurnal Pendidikan Multikultural Upaya
Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama, Vol 1 No. 1, 2008, hlm
120
[6] Farida Hanum, Jurnal Pendidikan Multikultural dalam
Pluralisme Bangsa. Hlm 7. Nov 2015
[7] Robert W Hefner, Politik Multikulturalisme, Menggugat
Realitas Kebangsaan.
(Yogyakarta: Impulse, 2007), hlm. 31.
[8] Muniarti Agustian, Pendidikan Multikultural. (Jakarta:
Penerbit Univ. Katolik Indoesia
Atma Jaya, 2019), hlm. 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar