KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT.
Karena atas rahmat-NYA kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami bersyukur pada Ilahi Robbi
yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga Makalah yang
berjudul “Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam” dapat terselesaikan.
Materi
dalam Makalah ini disusun berdasarkan Studi Pustaka dan Referensi-referensi
yang sesuai, dengan tujuan agar manusia yang beragama Islam pada umumnya dapat
lebih memahami tentang Masjid, dan sebagai Lembaga Pendidikan Islam tersebut.
Kami
menyadari, bahwa dalam Makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan.
Oleh karena itu, kepada para pembaca khususnya, kami mengharapkan saran dan
kritik demi kesempurnaan Makalah ini. Semoga
Makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada
umumnya Amin.
Salatiga, 29 April 2020
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………….……….……..2
DAFTAR
ISI………………………………………………………….…………..3
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang………………………………………………………………..4
1.2.
Rumusan Masalah…………………………………………………………….4
1.3.
Tujuan Penulisan……………………………………………………………...5
BAB II MASJID SEBAGAI
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
2.1.
Pengertian Masjid…………………………………………………….……….6
2.2.
Fungsi Masjid…………………………………………………………….…...7
2.3.
Sejarah Masjid………………………………………………………….……..9
2.4.
Pengertian Lembaga Pendidikan……………………………………….…….12
2.5.
Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam………………………….……….15
2.6.
Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam……………………………….………16
2.7.
Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam………………………..…………20
BAB III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan………………………………………………………….…………21
3.2.
Saran……………………………………………………………………………21
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Masalah
pertama yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin adalah tempat
tinggal. Untuk sementara, para Muhajirin bisa menginap di rumah-rumah kaum
Anshor, tetapi beliau sendiri memerlukan suatu tempat khusus di tengah-tengah
umatnya sebagai pusat kegiatan, sekaligus sebagai lambing persatuan dan
kesatuan diantara kedua kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang yang
berbeda itu.
Oleh
karenanya, maka kegiatan yang pertama-tama dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW
bersama dengan kaum muslimin adalah membangun masjid. Dalam membangun masjid
itu Nabi Muhammad SAW juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Begitu pula
kaum muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshor ikut pula bersama-sama
membangun.
Setelah
selesai membangun masjid, maka Nabi Muhammad SAW pindah menempati sebagian
ruangannya yang memang khusus disediakan untuknya. Di masjid itulah beliau
bermusyawarah mengenai berbagai urusan, mendirikan Shalat berjamaah, membacakan
Alquran, maka masjid itu merupakan pusat pendidikan dan pengajaran. Sekarang ini, fungsi
Masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi.. hal itu terjadi
karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid
terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Sehubungan dengan hal
tersebut, mka pembahasan akan dititikberatkan pada “Masjid sebagai Lembaga
Pendidikan Islam”.
1.2.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah
pada Makalah ini terdiri dari:
a. Apa pengertian dari Masjid itu?
b. Apa fungsi dari Masjid itu?
c. Bagaimana sejarah Masjid itu?
d. Apa pengertian dari Lembaga Pendidikan Islam
itu?
e. Bagaimana prinsip-prinsip dari Lembaga
Pendidikan Islam itu?
f. Bagaimana jenis-jenis dari Lembaga
Pendidikan Islam itu?
g. Apakah Masjid sebagai Lembaga Pendidikan
Islam?
1.3.
Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian Masjid
b. Untuk mengetahui fungsi Masjid
c. Untuk mengetahui sejarah Masjid
d. Untuk mengetahui pengertian Lembaga
Pendidikan Islam
e. Untuk mengetahui prinsip-prinsip Lembaga
Pendidikan Islam
f. Untuk mengetahui jenis-jenis Lembaga
Pendidikan Islam
g. Untuk mengetahui Masjid sebagai Lembaga
Pendidikan Islam
BAB II
MASJID SEBAGAI LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM
2.1.
Pengertian Masjid
Masjid berasal dari kata Sajada yang artinya tempat
sujud. Sedangkan sajadah dari kata Sajjadatun mengandung arti tempat yang
banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut artinya menjadi selembar
kain atau karpet yang dibuat khusus untuk shalat orang per orang. Oleh karena
itu, karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi tidak disebut
sajadah.
Adapun
masjid (Masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam
arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh
karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan
masjid dalam pengertian khusus untuk menjalankan ibadah, terutama shalat berjamaah.
Pengertian ini juga mengerucut menjadi masjid yang digunakan untuk shalat jumat
disebut Masjid Jami. Karena shalat jumat diikuti oleh orang banyak, maka masjid
Jami biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk shalat lima
waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan
biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan keperluan disebut
Musholla, artinya tempat shalat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi
nama langgar atau surau.
Kata Masjid teulang sebanyak dua puluh delapan kali
didalam Alquran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata
sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan
takdzim. Meletakkan
dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh
syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna diatas.
Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat
dinamakan masjid, yang artinya “tempat sujud”.
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan
bangunan tempat shalat kaum muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung
makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas
yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata.
Dalam
hadits Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Telah
dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian
diri”. (H.R. Bukhari dan Muslim, melalui Jabir bin Abdullah)
Jika
dikaitkan dengan bumi ini, Masjid bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana
penyucian. Disini kata masjid juga yang tidak lagi hanya berarti bangunan
tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu,
tetapi kata masjid disini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas
manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT.
2.2.
Fungsi Masjid
Fungsi Masjid dapat lebih efektif bila didalamnya
disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas
yang diperlukan adalah:
1.
Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin
keilmuan;
2.
Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat
berjamaah. Program inilah yang dikenal dengan istilah “i'tikaf ilmiah”.
Langkah-langkah praktis yang ditempuh dalam operasionalisasinya adalah
memberikan perencanaan terlebih dahulu dengan menampilkan beberapa pokok
persoalan yang akan dibahas. Setelah berkumpul para audiens (makmum), diskusi
dapat dimulai pada ruang yang telah tersedia. Kira-kira sepuluh sampai lima
belas menit sebelum shalat berjamaah, diskusi dihentikan dan kemudian beralih
pada “i'tikaf profetik” (dzikir). Sebaliknya, jika diskusi ini dilakukan seusai
shalat berjamaah, i'tikaf profetik didahulukan dan kemudian diganti dengan
i'tikaf ilmiah. Agar tak terlalu menjemukan diskusi ini dilakukan dua atau tiga
minggu sekali;
3.
Ruang kuliah, baik digunakan untuk training (tadrib) remaja masjid, atau juga
untuk madrasah diniyah Omar Amin Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut
dengan sekolah masjid. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi
keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya
lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum;
4.
Apabila memungkinkan, teknik khotbah dapat diubah dengan teknik komunikasi
transaksi, yakni antara khotib dengan para audiens, terjadi dialog aktif satu
sama lain, sehingga situasi dalam khotbah menjadi semakin aktif dan tidak
monoton. Teknik dialog (hiwar) dapat diterapkan dalam khotbah Jumat manakala
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Syarat dan rukun khotbah masih diberlakukan;
b.
Jamaah shalat rata-rata terdiri dari kaum intelektual atau kaum cendekiawan,
sehingga hanya memungkinkan di Masjid Perkotaan, Pesantren, dan Masjid Kampus;
c.
Perlu adanya perencanaan yang matang, sehingga jauh-jauh sebelumnya para
audiens sudah siap terlibat langsung;
d. Masalah yang dibahas
harus masalah yang waqiyah, yakni masalah-masalah kontemporer yang sedang hangat
menimpa umat.
Secara
konsepsional dapat dilihat dalam sejarah bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki
banyak fungsi diantaranya:
1.
Sebagai tempat menjalankan ibadah shalat;
2.
Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen);
3.
Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan (seperti Kantor
Pengadilan);
4.
Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis.
Yang
lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengembangan
masyarakat dimana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan
dari Rasul tentang berbagai hal; prinsip-prinsip keberagaman tentang sistem
masyarakat baru, juga ayat-ayat Alquran yang baru turun. Didalam masjid pula
terjadi interaksi antar pemikiran dan antar karakter manusia. Adzan yang
dikumandangkan lima kali sehari sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam
membangun kebersamaan.
Bersamaan
dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses dimana bisnis dan urusan duniawi
lebih dominan dalam pikiran, disbanding meski didalam masjid, dan hal ini
memberikan inspirasi kepada Umar bin Chattab untuk membangun fasilitas didekat
masjid, dimana masjid diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna ukhrawinya,
sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi.
Umar
membuat ruang khusus disamping masjid. Itulah asal-usulnya sehingga pada masa
sejarah klasik (hingga sekarang), pasar dan sekolahan selalu berada di dekat
masjid.
2.3. Sejarah Masjid
Ketika
Rasulullah berhijrah ke Madina, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun
masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana
beliau membangun masjid yang besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat
beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah (seperti namanya) yang arti
harfiahnya adalah “tempat peradaban” atau paling tidak dari tempat tersebut
lahir benih peradaban baru umat manusia.
Masjid
pertama yang dibangun oleh Rasulullah adalah Masjid Quba’, kemudian disusul
dengan Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang
masjid yang dijuluki Allah sebagai masjid yang dibangun atas dasar taqwa (Q.S.
At-Taubah:108) yang jelas bahwa keduanya masjid Quba dan Masjid Nabawi dibangun
atas dasar ketaqwaan, dan setiap masjid saharusnya memiliki landasan dan fungsi
seperti itu. Itulah sebabnya mengapa meruntuhkan bangunan kaum munafik yang
juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan sampah
dan bangkai binatang, karena dibangunan tersebut tidak dijalankan fungsi masjid
yang sebenarnya, yakni ketaqwaan.
Masjid
Nabawi di Madina telah mengabarkan fungsinya, sehingga lahir peranan masjid
yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang
telah diemban oleh masjid Nabawi, yaitu:
1.
Tempat ibadah (Shalat, Dzikir);
2.
Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi, sosial, dan budaya);
3.
Tempat pendidikan;
4.
Tempat santunan sosial;
5.
Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya;
6.
Tempat pengobatan para korban perang;
7.
Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa;
8.
Aula dan tempat menerima tamu;
9.
Tempat menawan tahanan, dan
10.
Pusat penerangan atau pembelaan agama.
Agaknya
masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain
oleh:
1.
Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan
jiwa agama;
2.
Kemampuan Pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat
dengan uraian dan kegiatan masjid.
Manifestasi
pemerintahan terlaksana didalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin
pemerintahan yang menjadi imam/ khotib maupun didalam ruangan-ruangan masjid
yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah).
Keadaan
itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil
alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi
keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintahan, sebagai pengarah kehidupan
duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan
material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi
dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam, itu
tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid
tidak dapat berperan didalam hal-hal tersebut.
Masjid,
khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi, paling
tidak melalui para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan
ukhrawi yang lebih berkualitas.
Apabila
masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus
tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua,
muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya
dan miskin.
Didalam
Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan
disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik
apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:
a.
Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan;
b.
Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur
dengan pria, baik digunakan untuk shalat maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga (PKK);
c.
Ruang pertemuan dan perpustakaan;
d.
Ruang Poliklinik dan ruang untuk memandikan dan menkafankan mayat;
e.
Ruang bermain, berolahraga dan berlatih bagi remaja.
Semua
hal diatas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun harus tetap
menunjang peranan masjid ideal termaktub.
Masjid
adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara. Segala sesuatu
yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat mengesankan, hal tersebut
tidak boleh dilakukan didalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid.
Salah
satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang tidak wajar
terlihat pada masjid (dan sekitarnya) adalah kehadiran para pengemis.
Rasulullah
menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat berkunjung ke masjid, dan melarang
mereka yang baru saja memakan bawang memasukinya.
Masjid
harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada pengunjung dan
lingkungannya.
Teks yang disebutkan tidak berarti larangan berbicara
tentang perniagaan yang sifatnya mendidik umat, atau melarang para Pembina dan
pengelola masjid berniaga, melainkan yang dimaksud adalah larangan melakukan
transaksi perniagaan didalam masjid.
Fungsi
masjid paling tidak dinyatakan oleh hadits Rasulullah ketika menegur seseorang
yang membuang air kecil (disamping) masjid:
“Masjid-masjid
tidak wajar untuk tempat kencing atau (membuang sampah). Ia hanya untuk
(dijadikan tempat) berzikir kepada Allah, dan membaca (belajar) Alquran”. (H.R.
Muslim)
2.4. Pengertian Lembaga
Pendidikan Islam
Secara
etimologis, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk
pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu
penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian diatas dapat
dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu: 1) Pengertian secara fisik,
material, konkrit, dan 2) pengertian secara non fisik, non material, dan
abstrak.
Dalam
bahasa Inggris, lembaga disebut Institute (dalam pengertian fisik), yaitu
sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian
non fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu system norma untuk
memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan
bangunan, dan lembaga dalam pengertian non fisik disebut dengan pranata.
Daud
Ali dan Habibah Daud menjelaskan, bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam
pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik materil, konkrit, dan kedua
pengertian secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi
pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik
menampakkan suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang
menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu
sistem yang berperan membantu mencapai tujuan.
Amir
Daiem mendefinisikan lembaga pendidikan dengan orang atau badan yang secara
wajar mempunyai tanggungjawab terhadap pendidikan.
Rumusan
definisi yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap
tanggungjawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya
merupakan suatu keharusan yang wajar bukan merupakan keterpaksaan. Definisi
lain tentang lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun
relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan, relasi-relasi yang
terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi
hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Adapun
Lembaga Pendidikan Islam secara terminology dapat diartikan suatu wadah atau
tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian konkrit, berupa
sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya
norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggungjawab pendidikan
itu sendiri.
Pendidikan
Islam termasuk bidang sosial sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari
lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga sosial tersebut terdiri atas tiga
bagian, antara lain:
1.
Asosiasi, misalnya universitas, persatuan atau perkumpulan;
2.
Organisasi khusus, misalnya penjara, rumah sakit, dan sekolah-sekolah;
3.
Pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang
mempunyai hubungan tertentu.
Lembaga
sosial adalah himpunan norma-norma tentang keperluan-keperluan pokok didalam
kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan lembaga
pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas
pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam
mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna
tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Dengan
demikian, lembaga pendidikan islam adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan
untuk mengembangkan lembaga-lembaga islam, dan mempunyai pola-pola tertentu
dalam memerankan fungsinya serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat
mengikat individu yang berada dibawah naungannya, sehingga ini mempunyai
kekuatan hukum tersendiri.
Lembaga
pendidikan Islam berupa non fisik mencakup peraturan-peraturan baik yang tetap
maupun yang berubah, sedangkan bentuk fisik berupa bangunan seperti masjid,
kuttab, dan sekolah.
Lembaga
pendidikan formal berupa sekolah, pondok pesantren yang sederajat dengan
madrasah yang diakui, bahkan diakreditasi oleh Dinas Pendidikan Nasional.
Lembaga
pendidikan non formal adalah keluarga dan lingkungan masyarakat. Dengan
memanfaatkan berbagai fasilitas umum yang dimiliki masyarakat, misalnya masjid,
mushola, balai musyawarah, rumah penduduk dan sebagainya untuk melaksanakan
pendidikan Islam.
Kelembagaan
pendidikan islam dapat dikembangkan di masyarakat tanpa terpaku oleh
lembaga-lembaga yang sifatnya formal. Oleh karena itu, pengembangannya akan
mempermudah masyarakat menerima dan menambah ilmu pengetahuan agama Islam
khususnya dan umumnya berbagai ilmu yang bermanfaat untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ibu-ibu PKK mengadakan Pengajian
Keliling seminggu sekali ke rumah-rumah penduduk setiap RT dan RW, maka program
ini merupakan upaya memanfaatkan lembaga non formal untuk mengembangkan syiar
Islam di masyarakat.
2.5. Prinsip-prinsip
Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk
Lembaga Pendidikan Islam apa pun dalam Islam harus berpijak pada prinsip-prinsip
tertentu yang telah disepakati sebelumnya, sehingga antara lembaga satu dengan
lembaga lainnya tidak terjadi semacam tumpang tindih. Prinsip-prinsip
pembentukkan lembaga pendidikan islam itu adalah:
1. Prinsip pembinaan umat
manusia menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan
hidup bahagia di dunia dan di akhirat, sebagai realisasi cita-cita bagi orang
yang beriman dan bertaqwa, yang senantiasa memanjatkan doa sehari-harinya (Q.S.
Al-Baqarah:201; Al-Qashash:77)
2. Prinsip pembentukkan
pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu
pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk
menghambakan diri pada Khaliknya, keyakinan dan keimanannya sebagai penyuluh
terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu pengetahuannya, bukan
sebaliknya keimanan dikendalikan oleh akal budi. (Q.S. Al-Mujadilah:11)
3. Prinsip amar ma’ruf dan
nahi munkar, dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kenistaan. (Q.S.
Ali Imran:104, 110)
4. Prinsip pengembangan
daya piker, daya nalar, daya rasa, sehingga dapat menciptakan anak didik yang
kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa, dan karsanya.
2.6. Jenis-Jenis Lembaga
Pendidikan Islam
1. Lembaga Pendidikan Islam
dilihat dari Ajaran Islam sebagai asasnya
Dalam
ajaran Islam, perbuatan manusia disebut dengan amal, yang telah melembaga dalam
jiwa seorang muslim, baik amal yang berhubungan dengan Allah maupun amal yang
berhubungan dengan manusia, dan alam semesta. Sedangkan Mahmud Syaltut
mengemukakan, bahwa ajaran Islam mencakup aspek akidah, syariah dan mu’amalah
yang dapat membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik.
Asas
seluruh ajaran dan amal Islam adalah Iman. Islam telah menetapkan norma-norma
dalam mengamalkan ajarannya.
a.
Rukun Iman, yaitu lembaga kepercayaan manusia kepada Tuhan, Malaikat, Kitab,
Rasul, Hari Akhir, dan Takdir;
b.
Ikrar keyakinan (bacaan Syahadatain), yaitu lembaga yang merupakan pernyataan
atas kepercayaan manusia;
c.
Thaharah, yaitu lembaga pensucian manusia dari segala kotoran, baik lahir
maupun batin;
d.
Shalat, yaitu lembaga pembentukkan pribadi-pribadi, yang dapat membantu dalam
menemukan pola tingkah laku untuk membangun atas dasar kesejahteraan umat dan
mencegah perbuatan keji dan munkar;
e.
Zakat, yaitu lembaga pengembangan ekonomi umat, serta lembaga untuk
menghilangkan stratifikasi status ekonomi masyarakat yang tidak seimbang;
f.
Puasa, yaitu lembaga untuk mendidik jiwa, dengan mengendalikan nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan fisik dan psikologis;
g.
Haji, yaitu lembaga pemersatu dalam komunikasi umat secara keseluruhan;
h.
Ihsan, yaitu lembaga yang melengkapi dan meningkatkan serta menyempurnakan amal
dan ibadah manusia;
i.
Ikhlas, yaitu lembaga pendidikan rasa dan budi, sehingga tercapai suatu kondisi
kenikmatan dalam beribadah dan beramal;
j.
Taqwa, yaitu lembaga yang menghubungkan antara manusia dan Allah sebagai suatu
cara untuk membedakan tingkat dan derajat manusia.
Adapun
lembaga-lembaga yang dapat berubah, karena perubahan norma-norma adalah:
a.
Ijtihad, yaitu lembaga berpikir sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam
merumuskan suatu keputusan masalah;
b.
Fiqih, yaitu lembaga hukum Islam yang diupayakan oleh manusia melalui lembaga
ijtihad;
c.
Akhlak, yaitu lembaga nilai-nilai tingkah laku yang dibuat acuan oleh
sekelompok masyarakat dalam pergaulan;
d.
Lembaga pergaulan masyarakat (sosial);
e.
Lembaga ekonomi, yaitu lembaga yang mengatur hubungan ekonomi masyarakat dengan
mencakup segala aspeknya;
f.
Lembaga politik;
g.
Lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi;
h.
Lembaga seni;
i.
Lembaga negara;
j.
Lembaga pendidikan
2.
Lembaga Pendidikan Islam ditinjau dari aspek Penanggung-jawab
a.
Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
keluarga
sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah persekutuan antar sekelompok
orang yang mempunyai pola-pola kepentingan masing-masing dalam mendidik anak
yang belum ada di lingkungannya. Kegiatan pendidikan dan lembaga ini tanpa ada
suatu organisasi yang ketat. Tanpa ada program waktu dan evaluasi.
Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah dan nasb. Sejalan dengan pengertian diatas, keluarga dapat diperoleh lewat persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam disyaratkan dalam Alquran:
Keluarga
merupakan orang pertama, dimana sifat kepribadian akan tumbuh dan terbentuk.
Seseorang akan menjadi warga masyarakat yang baik, bergantung pada sifatnya
yang tumbuh dalam kehidupan keluarga, dimana anak dibesarkan.
Melihat
peran yang dapat dimainkan oleh lembaga pendidikan keluarga, maka tidak
berlebihan bila Sidi Ghazalba mengkategorikannya pada jenis lembaga pendidikan
primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah.
Dalam lembaga ini sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili dan
sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggungjawab.
b.
Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah/Madrasah)
Hadari
Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang
kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara remaja, berencana, sistematis
dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya, agar mampu
menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Gazalba
memasukkan lembaga pendidikan formal ini dalam jenis pendidikan sekunder,
sementara pendidiknya adalah guru yang professional.
Lembaga
pendidikan pesantren dapatlah dikategorikan sebagai lembaga pendidikan non
formal. Sedangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal. Lembaga
pendidikan Islam di Indonesia adalah:
1. Raudhatul Athfal (TK)
2.
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah Dasar Islam (SDI);
3.
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPi), atau
nama-nama lain yang setingkat dengan pendidikan ini, seperti Madrasah
Mu’allimat (MMA), atau Madrasah Mua’llimin Atas (MMA);
4.
Perguruan tinggi, antara lain Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN) atau lembaga sejenis milik
yayasan atau organisasi keislaman, seperti Sekolah Tinggi, Universitas atau
Institut Swasta milik organisasi atau yayasan tertentu;
5. Lembaga Pendidikan Non Formal (masyarakat) yang teratur, namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Hampir sejalan dengan pengertian tersebut diatas, Abu Ahmadi mengartikan lembaga non formal kepada semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana diluar kegiatan lembaga sekolah (lembaga pendidikan formal).
Setiap
masyarakat memiliki cita-cita yang diwujudkan melalui peraturan-peraturan dan
sistem kekuasaan tertentu. Islam tidak membebaskan manusianya dari tanggungjawabnya
sebagai anggota masyarakat, dia merupakan bagian yang integral, sehingga harus
tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Begitu juga dengan
tanggungjawabnya dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
Berpijak
pada tanggungjawab masyarakat diatas lahirlah lembaga pendidikan islam yang
dapat dikelompokkan dalam jenis ini adalah:
1.
Masjid, musholla langgar, surau dan rangkang;
2.
Madrasah diniyah yang tidak mengikuti ketetapan resmi;
3.
Majlis Ta’lim, Taman Pendidikan Alquran, Taman Pendidikan Seni Alquran, Wirid
Remaja/Dewasa;
4.
Kursus-kursus Keislaman;
5.
Badan Pembinaan Rohani;
6.
Badan-badan Konsultasi Keagamaan;
7.
Musahabah Tilawah Alquran.
2.7. Masjid sebagai
Lembaga Pendidikan
Implikasi
masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah:
a.
Mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT;
b.
Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas
sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insane
pribadi, sosial dan warga Negara;
c.
Memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani
manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimism, dan mengadakan
penelitian;
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Dari
sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
a.
Masjid mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Umum yaitu untuk sujud, Sedangkan khusus yaitu untuk
ibadah atau shalat.
b.
Masjid mempunyai banyak fungsi diantaranya yaitu sebagai tempat menjalankan
ibadah shalat, sebagai tempat musyawarah, dan sebagai tempat pengaduan
masyarakat dalam menuntut keadilan;
c.
Masjid yang pertama kali dibangun adalah Masjid Quba, kemudian disusul dengan
Masjid Nabawi;
d.
Lembaga Pendidikan Islam adalah suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses
pendidikan Islam;
3.2. Saran
Penulis
menyusun Makalah ini untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah Ilmu
Pendidikan Islam dengan pokok bahasan mengenai: “Masjid sebagai Lembaga
Pendidikan Islam”, maka penulis akan menyampaikan saran sebagai berikut:
a.
Kita sebagai umat Islam harus banyak memakmurkan masjid, jangan sampai masjid
itu yang mengisinya sedikit, artinya masjid itu harus banyak dimanfaatkan
benar-benar seperti pada zaman Rasulullah SAW;
b.
Bahwa kita jangan mempunyai anggapan bahwa masjid itu sebagai tempat shalat
saja, tetapi masjid itu banyak sekali fungsinya seperti untuk pengajian-pengajian,
bermusyawarah, latihan remaja mesjid, dan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Ramayulis, 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, 2009. Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia
http://media.isnet.org/Islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar